Sangatta – Pagi hari di persawahan Sangatta masih menyimpan ketenangan yang jarang terdengar di pusat kota. Di antara kabut tipis dan air yang menggenang di pematang, Pak Talak berdiri sebagai saksi hidup perjalanan pertanian lokal. Di usianya yang telah menginjak lebih dari 80 tahun, ia masih setia mengelola lahan sawah seluas sekitar 80 hektare yang dibukanya sejak 1971.
Pak Talak dikenal sebagai petani pertama yang membuka lahan persawahan di kawasan tersebut. Dari lahan rawa dan lahar, ia mengubahnya menjadi sawah produktif yang hingga kini terus ditanami padi. Perjalanan panjang itu membuatnya memahami betul ritme alam dan perubahan musim di wilayah Sangatta.
Musim tanam padi kali ini dimulai pada Oktober. Jika kondisi cuaca mendukung, panen diperkirakan berlangsung pada Januari hingga Februari. Dalam kondisi normal, hasil panen dapat mencapai sekitar empat ton per hektare. Namun, menurut Pak Talak, hasil panen sangat bergantung pada faktor alam, terutama curah hujan dan angin.
Curah hujan yang tinggi justru dapat memperlambat pertumbuhan padi, khususnya pada fase pembungaan. Sebaliknya, cuaca cerah disertai angin dinilai lebih ideal karena membantu proses penyerbukan. “Kalau terlalu banyak hujan, padi memang subur, tapi lambat keluar buah,” ujarnya.
Selain cuaca, banjir menjadi ancaman paling serius bagi petani setempat. Saat banjir besar datang, seluruh area persawahan bisa tenggelam seperti lautan. Jika banjir terjadi ketika padi mulai berbuah, bulir padi berpotensi tidak terisi dan menyebabkan gagal panen.
Proses panen di wilayah ini masih dilakukan secara manual dengan sistem gotong royong antarpetani. Pola bergiliran menjadi kebiasaan yang tetap bertahan hingga kini. Bantuan alat pertanian dari Dinas Pertanian sesekali diterima, namun peran tenaga manusia dan kebersamaan masih menjadi tumpuan utama.
Tantangan lain datang dari serangan hama seperti ulat batang dan walang sangit. Pencegahan dilakukan menggunakan pestisida, meski biayanya cukup mahal. Sementara itu, ancaman burung diatasi dengan cara sederhana, seperti pemasangan tali dan pita di sekitar sawah.
Pak Talak mengaku tidak memiliki usaha pertanian lain selain sawah. Tidak ada kebun, tidak pula ternak. Seluruh hidupnya bertumpu pada padi dan tanah yang ia buka puluhan tahun silam. Bagi Pak Talak, sawah bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan.
Di tengah isu ketahanan pangan dan perubahan iklim, kisah Pak Talak menjadi potret nyata bagaimana pertanian lokal di Banua Etam bertahan. Dari tangan-tangan tua yang terus bekerja, cerita tentang pangan, ketekunan, dan waktu terus tumbuh di atas lumpur persawahan Sangata Selatan.(Mei)
