
Sangatta – Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Timur (Disdik Kutim) terus berupaya memperluas akses layanan pendidikan, termasuk melalui program pendidikan nonformal. Hal ini disampaikan oleh PLT Kabid Binaan PAUD dan PNF, Heri Purwanto, yang juga merangkap Kasi Kurikulum Peserta Didik, Pembangunan Karakter, dan Penilaian.
Menurut Heri, kegiatan pendidikan nonformal yang difasilitasi Disdik Kutim tidak hanya sebatas alternatif, tetapi harus menjadi tujuan utama masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan. “Kita tidak ingin pendidikan kesetaraan hanya dikenal dengan ujian paket semata, tapi benar-benar ada proses pembelajaran yang fleksibel, baik tatap muka, online, maupun modul,” jelasnya.
Ia menegaskan, selain memberikan pendidikan akademik, jalur nonformal juga membekali peserta dengan keterampilan wirausaha. “Sebelumnya kita sudah melaksanakan pelatihan pastry, bakery, membatik, menjahit, hingga digital marketing. Tahun ini fokusnya juga pada ekonomi kreatif, termasuk mengolah limbah minyak jelantah menjadi sabun,” tambahnya.
Heri menyebutkan, salah satu tujuan utama program ini adalah untuk menekan angka anak tidak sekolah (ATS) di Kutai Timur. Berdasarkan validasi terakhir per September, tercatat 9.644 anak masuk kategori ATS, yang terbagi atas belum pernah bersekolah, drop out, serta lulus tidak melanjutkan. Namun, setelah diverifikasi, banyak data tidak valid karena berbagai faktor, seperti penduduk yang pindah, meninggal dunia, atau masih aktif bersekolah.
“Yang mengejutkan, kategori tertinggi justru pada anak yang terdata belum pernah bersekolah. Tapi setelah dicek di lapangan, sebagian ternyata data ganda atau tidak ditemukan. Bahkan ada yang sudah sekolah, tapi masih tercatat di sistem,” ujarnya.
Permasalahan data ATS ini sempat terganggu akibat maintenance server Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemendikbudristek. Disdik Kutim kini tengah berkoordinasi dengan Disdukcapil dan pusat untuk menyinkronkan data melalui padanan data kependudukan.

Lebih lanjut, Heri mengakui faktor utama anak tidak sekolah di Kutai Timur bukanlah keterbatasan fasilitas, melainkan karena pilihan pribadi, bekerja, hingga menikah di usia dini. “Untuk itu kita sedang menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) pencegahan anak berisiko tidak sekolah. Harapannya, tim pencegahan ini tidak hanya di kabupaten, tapi juga terbentuk hingga tingkat kecamatan dan desa,” jelasnya.
Disdik Kutim menargetkan jumlah ATS dapat ditekan hingga 3.000 anak pada akhir tahun ini, meski kendala teknis pada server pusat sempat menghambat validasi data. “Yang terpenting bukan soal angka, tetapi bagaimana kita melakukan langkah nyata untuk menangani anak tidak sekolah melalui kolaborasi lintas sektor, mulai dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, DP3A, PKK, hingga Kemenag,” tutup Heri.(IB)