
KUTAI TIMUR – Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) kembali menjadi sorotan di Kutai Timur (Kutim). Penyakit ini disebut masih mendominasi kasus kesehatan pada anak, bahkan menjadi alasan terbanyak orang tua membawa anak mereka berobat ke fasilitas kesehatan.
dr. Meitha Togas, Tim Pakar Dokter Indonesia Cabang Kutim, menyebut ISPA sudah bertahun-tahun menempati posisi teratas sebagai penyakit anak.
“Secara umum yang paling banyak itu infeksi saluran pernapasan. Dari tahun ke tahun memang selalu di atas,” ungkapnya, Rabu (11/9).
Ia menjelaskan, ISPA bisa dipicu banyak faktor. Tidak hanya karena virus dan bakteri, tetapi juga pengaruh eksternal seperti paparan debu, kondisi lingkungan, hingga menurunnya daya tahan tubuh anak.
“Kalau kita bicara virus, itu juga ada kaitannya dengan pola makan anak. Jadi ketika daya tahan tubuh turun, anak akan lebih mudah terinfeksi penyakit,” jelasnya.
Meski belum ada data resmi jumlah kasus ISPA di Kutim, pengalaman lapangan menunjukkan dominasi penyakit ini. Menurut dr. Meitha, sekitar 80 persen pasien anak datang dengan gejala batuk, pilek, dan panas yang mengarah pada ISPA.
“Angka pastinya saya belum punya. Tapi kalau di lapangan, kasus ISPA memang mendominasi. Rata-rata keluhan anak datang ke fasilitas kesehatan itu karena batuk, pilek, dan panas,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menilai faktor lingkungan hanyalah salah satu pemicu. Yang lebih penting, kata dia, adalah bagaimana orang tua memperhatikan gizi dan tumbuh kembang anak, terutama pada fase 1.000 hari pertama kehidupan.
“Kalau kita bicara ISPA, itu tinggal dampaknya saja. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mengangkat tumbuh kembang anak sejak awal, terutama 9 bulan dalam kandungan sampai usia 2 tahun pertama,” jelasnya.
dr. Meitha juga menegaskan, seringnya anak menderita ISPA berhubungan erat dengan risiko stunting. Sakit berulang akan menurunkan nafsu makan, mengurangi asupan gizi, hingga mengganggu metabolisme tubuh.
“Saling berhubungan. Anak yang sedikit-sedikit sakit, praktis nafsu makannya berkurang. Metabolisme tubuhnya juga meningkat, sehingga gizi yang masuk tidak cukup. Itu bisa memengaruhi risiko stunting,” terangnya.
Ia menambahkan, ISPA tidak bisa dilihat hanya dari sisi medis. Kualitas udara, kebersihan rumah, dan pola asuh keluarga juga turut menentukan. Karena itu, penanganannya harus menyeluruh.
“Namanya anak sakit, pasti makannya terganggu. Kalau ini terjadi berulang, dampaknya bisa panjang. Jadi perlu upaya bersama, orang tua, tenaga medis, dan pemerintah untuk mengurangi risiko ini,” pungkasnya.