
Kutai Timur – Yusri (41), petani di Kutai Timur, sudah menggarap sawah sejak 2007. Dengan lahan sekitar 1,2 hektare, ia bisa panen dua kali dalam setahun. Setiap musim panen, hasilnya mencapai 150 karung padi.
Varietas padi yang ia tanam dikenal warga dengan sebutan Mikongka dan Ampari. “Biasanya orang sini nyebutnya Mikongka, kalau Ampari juga ada. Dua itu saja yang umum,” katanya.
Hasil panen Yusri biasanya langsung dijual ke warga sekitar. Berasnya sudah digiling, dan dijual dengan harga sekitar Rp15 ribu per kilo. “Belum ada pembeli besar, jadi masih untuk kampung sini saja,” ungkapnya.
Meski begitu, perjalanan menjadi petani bukan tanpa tantangan. Hama seperti tikus, ulat, dan burung kerap menyerang sawah. Ditambah lagi biaya operasional sekali tanam bisa mencapai Rp3 juta, mulai dari traktor, pupuk, sampai ongkos pengolahan lahan.
Syukurnya, Yusri dan kelompok tani di desanya pernah mendapat bantuan dari Dinas Pertanian, seperti traktor, pompa air, pupuk, bibit, hingga terpal. “Kalau untuk irigasi, masih mengandalkan bendungan di sungai. Kalau air ditutup di sana, keluar ke sawah sini,” jelasnya.
Di desanya ada empat kelompok tani, masing-masing sekitar 15 orang. Meski begitu, mayoritas petani masih menggarap lahan sendiri-sendiri. Yusri sendiri menekuni sawah warisan orang tuanya yang dulu membuka hutan jadi lahan pertanian.
Ia berharap pemerintah bisa lebih serius mendukung pemasaran beras lokal. “Kalau bisa, petani jangan hanya menjual ke penduduk sekitar. Harus ada penampung supaya beras lokal Kutim bisa lebih dikenal dan bersaing dengan beras luar,” harapnya.
