
KUTAI TIMUR – Rokok masih menjadi pengeluaran terbesar masyarakat Kutai Timur (Kutim), bahkan melampaui beras yang notabene makanan pokok. Fakta ini muncul dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kutim.
Dalam survei, kelompok masyarakat dengan pengeluaran 40 persen terbawah tercatat menghabiskan 8,40 persen belanja bulanannya untuk rokok dan tembakau. Jumlah ini lebih tinggi dibanding beras sebesar 8,12 persen, serta telur, susu, dan daging yang totalnya tak sampai 6 persen.
Jika dirupiahkan, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk rokok mencapai Rp103.749, sedangkan untuk beras hanya Rp100.343.
“Misalkan anggap rokok sebungkus Rp20 ribu dia sehari sebungkus. Kalau seminggu sudah Rp140 ribu rokoknya aja, sementara buat beli beras malahan kurang dari itu ya,” jelas Staf Tim Statistik BPS Kutim, Fatma Nur Aini mewakili Ketua Tim Statistik BPS Kutim, Hendro Budiyono.
Tak hanya dari sisi uang, konsumsi rokok di Kutim juga tergolong tinggi. Rata-rata penduduk usia 15 tahun ke atas mengisap 126,8 batang per minggu atau hampir 18 batang per hari. Kelompok pengeluaran menengah bahkan mencatat konsumsi tertinggi, yakni 135,1 batang per minggu.
Fenomena ini, menurut Fatma, berkaitan dengan tingkat pendidikan. “Nah, terus kalau dilihat dari pendidikan ternyata orang-orang yang dengan pendidikan SD ke bawah malah justru ngerokoknya lebih banyak dari pada yang pendidikan SMP ke atas,” ujarnya.
Secara nasional, pola serupa juga terjadi. Hanya saja, pengeluaran untuk rokok di Kutim cenderung lebih tinggi. Padahal, garis kemiskinan di daerah ini juga berada di atas rata-rata nasional, yakni Rp753 ribu per kapita per bulan dibanding Rp582 ribu secara nasional.
“BPS memang tidak menentukan siapa yang miskin secara nama dan alamat. Tapi dari survei terhadap 640 rumah tangga di seluruh kecamatan, kita bisa mendapatkan gambaran umum pola konsumsi dan pengeluaran masyarakat,” imbuh Fatma.
Rata-rata total pengeluaran masyarakat Kutim tercatat Rp2,16 juta per kapita per bulan. Dari jumlah itu, Rp999 ribu untuk makanan dan Rp1,16 juta untuk non-makanan. Khusus kelompok terbawah, lebih dari separuh belanja (55,03 persen) masih untuk makanan, sementara kelompok kaya hanya 37,40 persen.
Meski rokok terbukti jadi salah satu beban konsumsi terbesar, BPS menegaskan pihaknya hanya sebatas penyedia data. “Kami tidak punya wewenang untuk memberi intervensi atau sosialisasi. Kami hanya mencatat dan mengolah data sesuai dengan hasil survei,” pungkasnya.(IB)
