
Anak-anak Batota dan Sekolah yang Menghilang di Tikungan Waktu
Kutai Timur, Insight Borneo – Di balik hiruk-pikuk truk sampah yang hilir mudik di TPA Batota, ada kehidupan lain yang tak pernah benar-benar terdengar.
Anak-anak tumbuh di sana, di antara tumpukan limbah dan jalan tanah yang berdebu. Namun bukan hanya minimnya fasilitas yang membatasi mereka, tapi juga jauhnya jarak dari dunia yang seharusnya membuka masa depan yakni sekolah.
Sandi Hidayatullah, salah satu warga di sekitar TPA Batota, menyimpan keresahan itu. Bukan untuk dirinya, tapi untuk anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. Suaranya pelan namun pasti, penuh kepedulian.
Ia bicara bukan sebagai tokoh, melainkan sebagai tetangga, sebagai saudara, dan sebagai bagian dari lingkar kecil yang perlahan terlupakan.
“Yang paling pertama sih ya jelas pendidikan. Soalnya kan ada sebagian yang enggak sekolah. Jadi, diharapkan sih pendidikan yang paling penting,” ucapnya.
Sandi tahu betul betapa jauhnya jalan menuju sekolah. Anak-anak memang bisa menyelesaikan SD yang ada di sekitar, tapi setelah itu, banyak yang terhenti. Jarak SMP terdekat cukup jauh, ke Rawa Indah atau bahkan ke pusat Sangatta.
“Jadi banyak yang putus sekolah itu habis selesai SD, ya udah,” katanya. Tak sedikit pula yang bahkan menyerah lebih awal. “Yang saya lihat sih banyak yang memang putus baru kelas 1, kelas 2. Soalnya ya jaraknya itu yang jauh.”
Ia menyebut, lebih dari 10 anak di lingkungannya mengalami hal serupa. Tidak semua bisa ia kenali satu per satu, karena aktivitas sekolah pun semakin jarang terlihat. Yang tersisa hanya rutinitas harian di sekitar TPA dan impian yang menguap perlahan.
Meski hidup dekat dengan denyut aktivitas, kawasan ini seperti hidup di kantong yang sunyi dari perhatian. Anak-anak bertumbuh bersama deru mesin pengangkut sampah, tapi tidak semua punya tempat duduk di bangku kelas.
Sandi tak banyak menuntut. Ia hanya berharap, ada tangan pemerintah yang bisa menjangkau. Entah dengan membangun sekolah baru yang lebih dekat, atau setidaknya menghadirkan bus sekolah yang bisa menjemput.
“Kalau memang bisa, misalnya bisa bikin sekolah yang lebih dekat di sini. Nah, kalau enggak bisa, sediakan kayak misalnya bis sekolah yang bisa jemput dari sekolah,” harapnya.
Di tempat seperti Batota, impian tentang sekolah tak ubahnya seperti pemandangan dari kejauhan—terlihat, tapi sulit dijangkau. Padahal, mereka pun anak-anak bangsa, yang mestinya punya hak belajar tanpa harus berjalan jauh, dan berjuang sendirian.*(IB)
